Loading...

19 November 2008

Cerpen Tahun Baru untuk Rea


 
“Aku nggak bakal sanggup ngelewatinnya tanpa kamu, Dai”, protes Rea keras, sementara suaranya bergetar menahan emosi yang tercekat di kerongkongannya. Tangan kekar cowok yang kini berdiri di depannya, merengkuh Rea dalam dekapan tubuhnya yang tegap atletis. “Jangan kekanakan seperti ini, Re”, lembut ia membelai anak-anak rambut Rea yang dipermainkan angin. Kontan Rea melepaskan diri dari Badai, cowok yang memintanya menjadi pacarnya dua tahun lalu itu. Emosi yang tadi menyangkut di kerongkongannya kini telah meluap sampai ke ubun-ubunnya. “Gimana aku nggak kekanakkan? Kamu selalu ninggalin aku saat even penting buat aku. Aku bete, Dai diperlakukan seperti itu”, kali ini protes itu berubah menjadi lengkingan kemarahan yang meledak.

Badai menatap Rea tajam, tak pernah ia melihat Rea seperti orang kesurupan seperti ini sebelumnya. Biasanya cewek lembut itu hanya tersenyum masam tiap kali Badai mengutarakan kalau ia tak bisa menemaninya. Tapi kali ini Rea tak hanya berkata keras padanya, tapi juga berani menantang tatapan matanya. “Tiap kali aku butuh kamu, kamu selalu milih pergi. Kamu menomorduakan aku, Dai. Dua kali aku melewatkan ulang tahunku tanpa kamu. Tahun baru kemarin, kau juga tak ada disampingku. Salah kalau sekarang aku memintamu meluangkan sedikit waktumu untuk menemaniku melewati tahun baru kali ini?”, Rea berkata putus asa dan setengah menuntut.


Badai menarik tangan Rea kemudian mencengkram kedua pundaknya. “Re, kenapa sih kamu? Biasanya kamu nggak begini. Siapa yang menghasutmu sampai kamu kayak gini?”, tatapan tajam Badai kembali ditantang Rea. “Nggak ada yang menghasutku, Dai. Aku hanya sadar kalau selama ini aku yang selalu mengalah demi kamu. Aku sudah bosan, Dai”, Rea menyahut sama kerasnya. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman tangan kekar milik Badai. “Please, sekali lagi pahami aku, Re”, kali ini Badai mulai melemahkan nada bicaranya. Ia sadar, kalau Rea sedang emosi tak ada gunanya ia juga ikut emosi, hanya akan membuat hubungannya dengan Rea tambah buruk, dan ia sungguh-sungguh tak menginginkan hal itu. Tangan kekar Badai meraih tangan Rea, tetapi buru-buru ditepis Rea.


Bibir tipis milik Rea sedikit terangkat, mencibir. “Kapan aku tak memahami kamu, Dai? Aku selalu berusaha memahami kamu, tapi kamu tak pernah coba melakukan hal sama terhadapku”, masih tetap terbawa emosi, Rea terus mengagresi Badai. Sementara senja perlahan mulai bergulir, langit yang bersemu merah mulai menampakkan tanda-tanda gelap akan menyelubunginya.


Badai menghela napas dalam. Setengah putus asa, ia juga telah mulai kesal dengan ketidakmengertian Rea padanya. Pada apa yang selama ini dijalaninya. “Bagiku kamu penting, Re. Tapi taekwondo juga penting buat aku”, keluhnya menarik tangan Rea lembut. Terburu-buru Rea menepis lagi tangan Badai dari tangannya. Matanya terbeliak tak percaya, “Aku tahu kalau taekwondo penting buat kamu. Tapi jangan pernah menomorduakan aku demi taekwondomu itu, Dai. Berapa kali waktu kamu habis hanya untuk latihan, turnamen, dan pertandingan lainnya tanpa mempedulikan perasaanku, Dai? Takkah kamu pikir kalau itu artinya kamu menomorduakan aku?”, suara Rea menggema dipenghujung senja itu. Ia memekik keras pada Badai, cowok yang sangat disayanginya itu. Ia sendiri tak habis pikir kenapa ia bisa berkata sekasar itu pada Badai, padahal dulu ia tak pernah seperti itu, bahkan untuk menantang tatapannya saja ia tak sanggup.


Tak ada tanggapan lagi dari Badai, suasana tiba-tiba menjadi hening. Tak ada lagi semburat merah di barat, langit kian temaram. “Re, sebaiknya kita pulang”, perkataan Badai memecahkan berbagai kelebat kemarahan di hati Rea. Ia mengangguk pelan. Sementara hatinya diam-diam mulai menyesali semua ucapannya yang menyulut perdebatan diantara mereka. Badai menggamit lengan Rea lembut dan keduanya meninggalkan pantai yang biasanya mereka datangi itu. Senja bergulir, langit pun temaram...


* * *


Seharian Rea mengurung diri tanpa mau diganggu oleh mama, papa, adiknya, bibinya atau siapapun yang mengajaknya bicara. Ia masih sebal dengan sikap Badai padanya. Setelah pertemuan mereka di pantai yang biasanya mereka datangi itu Badai tak lagi mengunjunginya, menelepon pun tidak. Jadinya hal ini membuatnya uring-uringan sepanjang hari sampai-sampai Rea bolos dari sekolah.


Perlahan ia mendongakkan wajahnya yang sedari tadi disembunyikannya di bawah bantal, ia melihat lagi ke kalender meja yang berdiri mengejek di sudut kamarnya. Sekarang sudah tanggal tiga puluh Desember, itu artinya malam nanti Badai akan berangkat ke Klaten untuk menghadiri turnamen taekwondo. Rea menutup mukanya kembali dengan bantal. Ia ngeri membayangkan malam tahun baru akan dilewatkannya lagi tanpa Badai seperti tahun lalu. Padahal dihari itu bertepatan dua tahun mereka jadian.


Sempat terpikirkan oleh Rea untuk datang ke rumah Badai dan meminta maaf atas ucapannya kemarin yang menyebabkan keduanya bertengkar. Tetapi hati kecil Rea melarangnya dan mengatakan kalau apa yang ia lakukan kemarin benar. Rea meraih hp mungil yang dari tadi menunggu jemari-jemari milik Rea menekan keypadnya. Tangan Rea terhenti sesaat. Ia kembali ragu dengan tindakannya. Apakah dengan tindakannya malah akan membuat Badai tak merasa bersalah padanya dan semakin mengesampingkan dirinya? Dilemparnya hpnya ke sudut tempat tidur. Sementara matahari bergulir begitu cepat ke arah barat yang mengisyaratkan kalau langit akan temaram dan Badai akan segera pergi.


Ketika Rea mendongakkan kepalanya lagi, diluar telah pekat. Rupanya ia ketiduran setelah melempar hp tadi. Ia mengerling ke arah jam dinding yang kini jarum pendeknya menunjuk pada angka delapan. Terpekik, Rea bangkit dari kasurnya, satu jam lagi Badai berangkat ke Klaten. Diraihnya hp mungil yang tadi diacuhkannya. Ia semakin terpekik ketika melihat di layar hp nya tertulis 1 Message Received yang diketahuinya itu dari Badai satu jam lalu. Tiba-tiba ia menyesal telah men silent kan nada deringnya. Seperti orang kesurupan ia berlari keluar kamar diiringi tatapan aneh dari mama, papa, dan adik lelakinya. Sambil menyetir, tangan kirinya memencet keypad hp mungilnya, mulai membaca pesan yang ditulis Badai untuknya. Re, Q mnt maaf ke km soal kmrn. Q menyesal krn g bs menuhin kemauan km, skl lg Q kcwin km. Q hrs brgkt mlm ni coz Tewond adlh ms dpn Q. Tp km jg pntg buatQ. Luv u.


Apa sih mau kamu, Dai? Bikin aku kesal terus ke kamu, pikir Rea menghempaskan tubuhnya ke sandaran jok mobil. Sedetik kemudian tangannya kembali sibuk memencet-mencet keypad hpnya. Dai, kt g bs ky gn trs, Q dah cpek. Lbh baik kt pts. Sekuat tenaga ia menahan airmata yang berdesakkan di pelupuk matanya. Susah payah ia tak ingin menangis demi Badai, tapi ternyata ia tak sanggup. Badai terlalu berkuasa atas dirinya dibandingkan dirinya sendiri. Ia terlalu menyanyangi Badai walau apapun yang telah terjadi. Sesungguhnya tak sanggup ia menulis demikian untuk orang yang selama ini mengisi hari-harinya. Untuk orang yang selalu membuatnya tertawa saat ia sedih, orang yang kadang suka rewel kalau ia susah diatur, orang yang kadang suka membuat dia ngambek bahkan orang yang selama ini selalu membuatnya sedih tetapi sekaligus merindukannya.


Message sent delivered, tulisan di layar hp itu menunjukkan kalau pesannya telah terkirim. Rea melempar hp itu ke jok di sampingnya. Tiba-tiba Rea menghentikan mobilnya mendadak, ia tak lagi sanggup untuk membendung air mata. Bagai tanggul jebol, airmata itu membajir dan membuat anak-anak sungai di pipinya. sungguh tak pernah ia memikirkan kalau perpisahannya dengan Badai akan seperti ini.


Tiba-tiba kaca ray-band nya diketuk keras dari luar. Sambil mengusap airmata, Rea menolehkan kepalanya ke luar. Di sana berdiri dua orang polisi lalu lintas. Rea membuka kaca mobilnya terburu-buru. “Mbak, disini bukan area parkir atau kawasan bebas berhenti. Silakan berjalan 500 m dari sini untuk parkir!”, salah seorang dari polisi lalu lintas yang sedang bertugas itu memperingatkan Rea. Dengan wajah pias, Rea mengangguk. Untunglah polisi baik hati itu tak menilang mobilnya atau meminta SIM nya. Saking terburu-burunya tadi, ia sampai melupakan SIM dan surat-surat mobil. Setelah menutup kaca mobilnya kembali, Rea memutar balik arah mobilnya. Ia memutuskan pulang dan tak jadi menemui Badai untuk melepas kepergiannya ke Klaten. Ia benar-benar tak sanggup membayangkan bagaimana ia bisa menatap mata yang bersinar tajam itu setelah ia menulis pesan minta putus padanya.


* * *


Matahari seakan begitu cepat bergulir, semburat jingga di barat mulai memudar. Semburat jingga itu tiba-tiba bisa begitu menarik perhatian Rea. Padahal sebelumnya tiap ia dan Badai mengunjungi pantai itu, tak pernah sedetik pun ia memandangi semburat jingga yang merona di ufuk barat. Tak pernah perhatiannya terpusat pada siluet penanda senja itu. Bahkan kini Rea merasa malu padanya, sebab setiap kali ia dan Badai kesana hanya pertengkaran demi pertengkaran yang dapat disaksikan sang siluet. Tak pernah ia dan Badai duduk berdua sambil memandangi siluet jingga yang merona menatap mereka. Rea juga mulai malu pada langit dan laut, keduanya bisa sangat akrab ketika senja hari. Keduanya dapat menunjukkan pada sang siluet kalau mereka sangat akrab, sangat mesra walau keduanya berjauhan.


Rea menyangga kepala di kedua lututnya yang ditekuk. Angin senja masih setia menemani dan memainkan anak-anak rambutnya seperti biasa. Hari ini tanggal tiga puluh satu Desember yang berarti malam nanti adalah malam tahun baru, yang juga bertepatan dengan dua tahun mereka jadian. Itupun seandainya kemarin ia tak minta putus. Diam-diam Rea merasa begitu menyesali tindakannya yang dikuasai emosi kemarin. Ia begitu menyayangi Badai walau Badai selalu menomorduakannya. Air mata kembali membobol tanggul-tanggul pertahanan Rea sampai membuatnya kembali menangis. Sementara langit kian temaram.


“Re, sebaiknya kita pulang”, tiba-tiba di sampingnya terulur tangan kekar ke arahnya. Tersentak, Rea mendongakkan kepalanya. Di sana ada senyum dari sosok tinggi, tegap, dan atletis. Itu senyum Badai. Setengah tak percaya Rea menyambut tangan kekar yang terulur padanya. Tangan itu memang milik Badai, tangan kekar yang selalu memeluknya saat ia butuh kekuatan. “Kamu kenapa begini?” sepasang tangan kekar itu meraih wajah Rea, kemudian mengusap bulir-bulir airmata yang menggenang di pipi lembutnya. Rea menghambur ke dalam pelukan Badai, “Aku tahu aku nggak bakal bisa kuat tanpa kamu”, serunya diantara isak tangis. Penuh kelembutan Badai membelai anak-anak rambut yang masih dipermainkan angin senja. “Aku juga nggak bakal kuat tanpa dukungan kamu”, bisik Badai lirih.


“Maksudmu?”, kejar Rea menatap mata Badai yang biasa bersinar tajam. “Bukankah seharusnya kamu masih di Klaten sampai tanggal dua Januari nanti untuk turnamen itu?”, mulai cemas, Rea mencecar Badai dengan pertanyaannya. “Kenapa? Apa yang terjadi dengan turnamen itu? Kamu membatalkannya?”


Kepala Badai menggeleng lemah diantara rentetan pertanyaan Rea, “Aku kalah, Re. Aku dapat giliran pertama bertanding, kemarin. Aku gagal, Re. Aku nggak kuat tanpa dukunganmu”


“Maafkan aku, Dai. Aku nggak bermaksud membuat...”


Jari telunjuk Badai telah menempel di bibir tipis Rea, memotong ucapan penyesalannya. “Bukankah ini kabar gembira, Re? Kita bisa melewatkan malam tahun baru sekaligus hari jadian kita sama-sama kan?”, mata yang biasa bersinar tajam itu kini terlihat begitu berbinar bahagia.


Rea tertunduk diam. “Kok, kamu sedih gini? Susah payah aku datang khusus untuk menemui kamu. Aku langsung kesini setelah sampai dari Klaten tadi”, Badai mengangkat wajah Rea.


“Aku udah jahat ma kamu, Dai. Aku ngirim sms jahat ke kamu”, sesal Rea menatap lemah ke Badai. Lagi-lagi cowok di depannya itu tersenyum lembut, “Aku tahu kamu akan menarik kata-katamu itu kan?”, Rea tersenyum dan balas memeluk sosok tegap di depannya.


“Kita pulang?”, tawar Badai menatap Rea. “Kamu mau melewatkan malam spesial ini tanpa mandi dan bersih-bersih?” sambung Badai seraya menggoda Rea yang kini sudah bisa tersenyum. Rea mengangguk mantap. Badai meraih tangan Rea dan keduanya berpegangan erat. Akhirnya kau bisa menyaksikan kebahagiaan dari kami, siluet, Rea membatin senang pada siluet yang merona semakin merah menyaksikan keakraban keduanya. Senja bergulir, langit pun temaram...

0 comments:

Posting Komentar

Loading...
Loading...